I am coming sack

Sungguh. Aku ingin menulis sesuatu yang tidak penting. Sesuatu yang saking tidak pentingnya sehingga membuatku merasa lebih berbahagia, demi menyadari bahwa di dunia ini masih ada yang tidak penting. Jadi, mari untuk tidak ngotot, tidak perlu meninggikan nada suara, tidak perlu menyitir tulisan siapapun, baik buzzer di X maupun di jurnal ilmiah mana pun yang mungkin penulisnya sedang terkubur tumpukan buku dan beban kredit supaya tetap layak menyandang gelar cendikiawan. Huh … capek ternyata, menulis panjang tanpa titik.

Kadang ubab rampe menggambar itu lebih artistik ketimbang gambarnya ya. (Ini fotoku)

Bagaimanapun juga, setidaknya dalam 5 menit terakhir (sambil mendengarkan “Baby One More Time” dan “Sometimes”-nya Britney Spears) aku menemukan ada tiga penemuan terkait degan bagaimana aku menulis blog. Eh, empat. Pertama, ternyata menulis blog secara online itu juga tidak apa-apa. Maklum, aku ini old school boys yang default-nya ngirit kuota. Dua puluh tahun lalu, aku kalau menulis blog lebih suak membuat draft dulu di MS Word, lalu ketika uang sakunya ngumpul cukup banyak, baru ke warnet bikin postingan. Esok harinya kabar ke orang-orang via SMS kalau sudah posting artikel. Kadang-kadang copas ke Friendster. Ah, tua ya. Saat ini, di zaman ketika wifi sudah seperti angin yang tiada henti dan laptop bisa dipakai tanpa harus bergiliran atau tanpa harus ke warnet, marilah bersikap seperti hari ini (ini aku ngomong ke diriku sendiri). Be today!

Kedua, aku menemukan bahwa aku menikmati ketika orang-orang semua rajin menonton IG, Tiktok, dan mungkin FB atau X. Dan sudah sangat jarang orang membaca blog. Jadi, aku bisa berasumsi bahwa di dunia dengan 7 miliar orang ini hanya 1-2 saja yang tidak sengaja membaca tulisanku. Tanpa merasa diabaikan, dan tanpa berusaha agar semua orang membaca tulianku (yang tidak penting) ini, ternyata aku merasa punya “digital privacy” yang sulit dipahami. Bayangkan di tengah keramaian (kalau di Yogya, misalnya di Malioboro-lah), dan aku di antaranya, di tengah banyak orang, saling menyapa, saling nampang, saling bergaya, atau saling punya urusan sendiri-sendiri. Lalu aku, karena capek bersentuhan dengan orang, memilih menyendiri di dekat pot (namanya sweet pot) sambil mengunyah tahu susur. Tak perlu mengabaikan pendapat orang lain, tak perlu memusingkan harus berpendapat atas pendapat orang lain tentang pendapat orang lain lagi.

Ketiga, aku menemukan bahwa ternyata aku lupa password blog-ku. Kegiatan mengingat-ingat itu tidak menyenangkan. Sama tidak menyenangkannya dengan membuka file berpassword di dalam folder berpassowrd yang isinya daftar password. Dan hanya Tuhan yang tahu, sudah berapa sering aku lupa password sehingga harus ku-reset. Menjumpai daftar password lama ternyata sudah berganti (padahal membukanya susah payah) ternyata cukup menghabiskan energi bahkan sebelum menulis.

Keempat, aku menemukan bahwa menulis banyak itu adalah penyakit. Duluuuu… sekali, di kala aku masih berseragam celana pendek merah, yang namanya tugas mengarang selalu diberi embel-embel “minimal 2 halaman” or so. Saat ini, tidak cuma sekali aku harus mengurangi jumlah kata yang aku tulis, karena kebanyakan. Aneh ya. Mungkin — kata para editor online — sekarang orang tidak punya waktu membaca. Puh! Berhubung tulisanku bukan sesuatu yang perlu dibaca, alasanku tentu lebih subjektif. Aku merasa menulis banyak adalah penyakit, karena dalam beberapa hal menulis itu adalah eskapisme dari … misalnya (saat ini) menunda mandi sore. Menunggu supaya lebih mood.

Yah, namanya juga homo sapien.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.