Polengoid


Si Poleng & Bapak (2008). C u all in heaven.

Sebongkah masa yang masif seakan menggelinding pelan di kedalaman ruang kosong. Sisi-sisinya yang tajam bergerigi meninggalkan sejalur debu kosmik. Di sana-sini, ketika cahaya Alpha Centauri menerangi samar, tampak lekuk-lekuk luar biasa yang terentang beberapa kilometer. Igir-igir mencuat hingga sekian ratus meter, dan lubang-lubang gelap entah berapa puluh meter dalamnya menjadi noktah-noktah gelap abadi. Menjadi takik, seperti gigi gemeligi, bak pecahan bola bekel raksasa yang habis dicakar-cakar anak gadis buto ijo, namun gelap. Seakan berkeretak ketika berputar. Dan bergerak lurus. Tanpa garis start, tanpa lini finish. Hanya Tuhan yang tahu sejak kapan bongkahan itu berputar dan menggelinding. Pelan tampaknya.

Hanya mereka yang kurang kerjaan – termasuk kalian – yang mempelajari cara mengukur besar dan kecepatan bongkahan asteroid yang lepas – ah, asteroid. Nama yang akrab namun senantiasa terlepas; meluncur di sela jari tangan ketika kau tangkap. Asteroid. Seperti nama seseorang.
Baca pos ini lebih lanjut

Pada Mulanya Adalah Kematian


Pada mulanya adalah kematian. Ups! Maksudnya adalah tiadanya kehidupan. Tetapi bukankah kebalikan hidup adalah mati? Biasanya, ruang kosong di antaranya diisi dengan setengah mati dan sekarat (yang secara ajaib diinggriskan menjadi dying. Kok bukan living?). Mungkin karena kita terbiasa melihat “kehidupan” sebagai sesuatu yang positif, sedangkan di pojok yang berlawanan adalah “kematian” yang serba suram, kecut, berdebu, angker, sedih, pedih, perih, … negatif.

Mungkin itu sebabnya Alkitab menuliskannya “Pada mulanya adalah terang”. Adil. Tidak menimbulkan perdebatan panjang dan mengarah ke stigma tertentu. Meskipun di urut-urutan penciptaan (jika kronologisnya diikuti kata per kata, secara denotatif) maka saat itu sebenarnya tidak jelas terang atau gelap. Lha wong benda langit belum diciptakan. Tetapi tidak masalah. Itu bukan urusan saya, dan sejauh yang saya tahu, juga bukan urusan Anda.

Baca pos ini lebih lanjut

Dua Tahun Meninggalnya Rm. Fx. Tan Soe Ie, SJ


Mengenal karya seseorang – apalagi jika orang tersebut telah tiada alias tilar donya – kadang tak cukup hanya dengan menginventarisir sejumlah properti, program, bahkan ide. Barangkali itulah bedanya antara “tahu” dan “kenal”. Mengetahui Rm. Fx. Tan Soe Ie, SJ yang sudah wafat 2 tahun lalu tentu jauh berbeda dengan mengenalnya, apalagi secara pribadi. Terlebih, Rm. Tan – begitu panggilannya – cenderung tak suka publisitas. Bukan selebritis atau pemuka masyarakat yang ngotot jadi caleg, romo Jesuit satu ini lebih suka berkarya di lereng Gunung Merapi. Bersama tanaman, ternak, pupuk organik, serta bersahabat dengan para petani yang terpinggirkan dan “terkecilkan”, Rm. Tan menunjukkan dedikasi sampai akhir hayatnya. Sayang, saya bukan salah satu yang diberi anugerah untuk mengenal. Hanya tahu. Itu pun belakangan.

Misa Peringatan wafatnya Rm. Tan dilaksanakan pada hari Minggu 27 Februari kemarin di Bumi Perkemahan Sumber Boyong, Pakem, Sleman, tidak jauh dari kapel Bonggol Paroki Pakem tempat Rm. Tan sehari-hari tinggal di bilik bambu. Di pelosok Sleman inilah, Rm. Tan secara informal telah membentuk semacam komunitas yang terdiri dari para petani dan pemuda, yang bergerak di bidang pupuk organik bekas cacing (kascing) atau vermicompost. Kesukaannya dengan dunia tanaman serta perhatiannya dengan kehidupan “wong cilik” melahirkan petani-petani organik yang resisten terhadap fluktuasi harga pupuk yang berbau mafia. Cita-citanya adalah mengangkat kesejahteraan petani itu sendiri, melalui kerja keras dan kemandirian untuk hidup.

Baca pos ini lebih lanjut