17 Februari 2014
oleh noel
(sekitar 78,5%-nya kisah nyata)
Sekitar 2 tahun lalu, aku pernah cerita tentang sulitnya menjelaskan kepada tetangga-tetanggaku, seperti apa itu kerja freelance. Saat itu beberapa orang malah merasa nyaman “pura-pura” menganggapku mahasiswa atau karyawan serabutan. Jadi jangan heran kalau tiba-tiba ada orang ngetuk pintu kamar minta servis printer, komputer, saklar listrik mati, sampai mobil mogok. Kecuali soal komputer – dan hanya bersifat pertolongan – aku tidak pernah meladeni. Bukannya kenapa-kenapa, tetapi yakin bulyukin, aku enggak expert di bidang itu. Tetapi dengan “status mengambang” demikian, setidaknya aku tidak (atau belum?) dianggap teroris. Fine.
Namun, rasa penasaran para tetanggaku yang “mulai akrab” dengan keanehanku mulai pudar seiring “kerja freelance”-ku menuntut untuk ngantor hampir tiap hari sesuai jam kerja. Bukan wajib sih, tetapi memang ada yang harus dikerjakan. Hal ini membuatku plong saat tetangga tanya, “Tindak nyambut damel, Mas” (“Pergi kerja, Mas?”). “Inggiiiii …hh,” (“Iyaaa..”), sahutku. Dan, “Bruuummm…”, motorku berlalu. Atau begini: “Kok ndalu-ndalu tindak ngasta, Mas?” (“Kok malam-malam pergi kerja, Mas?”), “Inggiiiii … hh,” (Iyaaa …”), sahutku pula. Padahal aku cuma mau main. Bukannya bermaksud menipu, meski akhirnya jadi berbohong. Aku hanya menjawab “sapaan” dengan “sapaan”. Seperti inlander Yogya hampir selalu menjawab “Inggih, monggo” (“Iya, silakan.”), saat ada orang bilang “Ndherek langkung” (“Numpang lewat.”). Padahal kita bisa saja menjawab “Jangan. Jangan lewat.” Apalagi memangnya itu jalannya simbahnya, kok aku harus minta izin lewat.
Jadi “Inggih” di antara tetanggaku adalah konfirmasi sekaligus afirmasi bahwa aku adalah tetanggamu, dan aku menerima serta membalas sapamu, wahai tetangga. Soal isi, nggak penting. Itulah bedanya Homo sapien dengan voice recognition di smartphone.
Apapun itu, sejenak aku menikmati “interpelasi” tetangga-tetanggak, meski agak semena-mena. Menikmati dan agak bahagia.
***
Sampai pagi ini tadi. Sambil srak sruk srak sruk membersihkan abu vulkanik di atas kon blok. Terjadi dialog begini.
“Katanya sekarang kuliah, Mas?”
“Iya … “
“Wah, selamat ya. Akhirnya bisa kuliah. Memang kalau dari STM itu sulit kalau masuk kuliah. Hebatnya, masnya ini kerja untuk nabung buat kuliah to?”
“Hmm … saya dulu bukan STM kok Pak.”
“Lha iya, nggak apa-apa. Kayak anak saya itu, akhirnya bisa keterima di Teknik UGM. Masnya kalau berusaha ya nanti bisa kayak anak saya.”
“Oh …,” aku jadi pusing mau menjelaskan dari mana. Gubrak saja deh.
(Rasanya aku masih nyimpan ijazah dari Teknik UGM.)
***
Kalau ini orang satunya. Dia agak ramah dan cukup open minded.
“Masnya sekarang kuliah atau kerja to?”
“Dua-duanya Pak. Biar tambah pinter tapi juga nggak bangkrut-bangkrut banget.”
“Oh, ambil S2 ya?”
“Iya Pak.”
“Ambil apa?”
“Ilmu religi dan budaya, Pak.”
“Wo, religi itu yang tentang candi-candi itu ya? Lha Masnya budayanya ngambil apa?”
“Mmm … nggak ada konsentrasinya kok Pak.”
“Lha iya. Tapi budayanya itu ambil apa? Ambil nari, atau pedalangan, atau seni ukir?”
“Wah, bukan budaya seperti itu Pak”
“Wo nggak apa-apa Mas. Nggak usah malu. Wong saya saja juga masih berdarah seniman kok. Kalau masnya ngambil nari atau patung pun itu nggak apa-apa Mas. Nggak usah malu. Berani menjadi diri sendiri, Mas.”
Kali ini aku berpedoman silence is gold. Ketimbang dituduh tidak punya jati diri.
***
Kalau ini yang nanya justru teman kost-ku. Anak Administrasi Negara kampus sebelah. Sambil membawa selang air warna hijau ngejreng, dia tanya begini.
“Kok kalau pagi sekarang jarang kelihatan, Mas?”
“Aku sekolah lagi.”
“Wo, sip! Ngambil apa, Mas?”
Aku jadi teringat bapak yang tadi. Biar nggak salah paham, singkatannya kubalik.
“Di Ilmu budaya .. dan religi.”
“Wah nanti jadi pendeta dong?” Ealah.
“Weh, enggak ini budaya kok. Religinya itu bukan sekolah agama.”
“Omku juga ambil budaya kok waktu ambil gelar S.Pd.I. Terus kalau mau belajar lagi ya bisa ambil tasawuf, atau apalah gitu. Berarti budayanya itu semacam musik gereja atau patung-patung di gereja itu ya?”
“Bukan. Ini bukan seperti itu.”
“Eh atau jangan-jangan belajar mistik gitu juga ya Mas?”
Duh! Tiba-tiba muncul ide.
“Enggak .. aku tuh kuliahnya Culture Studies”, jawabku sambil memberi penekanan pada –ture dan –dies.
“Ooh … ya ya …” Alhamdulilah dia nggak tanya-tanya lagi. Padahal cuma menggantinya jadi bahasa lain.
(Jawaban ini akan kuingat-ingat. Biar nggak ada orang yang mengetok pintu dan menyuruhku mereparasi wayang kulitnya, atau meminta mengisi pengajian.)