Hujan

Aku suka hujan. Mungkin karena waktu kecil aku takut hujan. Dulu sewaktu aku SD, selama beberapa tahun kami sekeluarga pernah tinggal di perumahan kecil belakang sekolah. Diapit gedung bertingkat, sawah, kebun, dan sungai kecil. Kebetulan permukaan air sawah lebih tinggi ketimbang lantai rumah. Ketika hujan turun lebat, air dari sawah akan mengalir dengan enaknya menuju dapur, menggenang sampai ruang tamu, keluar ke teras, turun ke kebun sampai ke sungai kecil. Jadilah banjir lokal. Air datang dari mana-mana, termasuk dari atap rumah yang tidak pernah tidak bocor. Hujan sekecil apapun meninggalkan perasaan was-was. Tidak jarang hujan membasahi baju yang sudah siap dipakai; tidak jarang buku-bukuku sekolah basah kena air hujan yang mengkabut kala hujan deras.

Jauh sebelumnya, mungkin aku masih berumur sekitar 5 tahun, aku pernah dibonceng sepeda oleh kakakku laki-laki di tengah hujan. Alih-alih berhenti dan berteduh, ia (yang memang bandel) justru menggenjot sepeda dengan kencang. Alhasil, aku ditimpa angin bersama butir-butiran hujan yang terasa besar dan sakit di wajah. Aku teriak-teriak karena merasa tidak bisa bernapas, sambil erat memegang sadel sepeda. Aku lupa endingnya bagaimana. Mungkin kakakku dimarahi orang tuaku seperti biasanya. Mungkin aku kena demam. Aku lupa. Tapi aku masih ingat rasanya sulit bernapas di tengah hujan.

Tetapi aku juga ingat ketika hujan deras, aku dan adikku memandang sawah di belakang rumah lewat jendela kaca di kamar. Melihat pohon di tengah sawah yang berangsur berubah menjadi kelabu dan tidak tampak; melihat selokan mataram di tengah sawah yang tampak kian menghilang; melihat angin memelintir tanaman padi, menggoyang pohon-pohon pisang; sampai kilat petir yang menyambar-nyambar. Perasaan takut akan akhir dunia bercampur dengan kekaguman. Di saat yang sama, aku kerap mengkhayalkan perjalanan di tengah hujan. Jendela kaca menjadi kaca depan bus antar kota yang sering lewat di Jl. Magelang, tempat kami berdua sering menunggu bapak ibu pulang di malam hari. Dalam imajinasi, kami piknik ke tempat-tempat yang hanya muncul di gambar kalender. Air terjun Niagara, Olympic Forest, Grand Canyon, Danau Toba, Dieng, Sarangan, Bandungan, Pangandaran, … ah, betapa kalender yang bagus lebih menarik ketimbang pelajaran Geografi.

Setelah remaja, aku menyukai hujan. Aku senang naik sepeda di tengah hujan. Bahkan sampai sebelum menikah, setiap kali datang musim hujan, aku selalu menyempatkan diri sengaja naik motor tanpa mantol di tengah hujan. Merasakan angin besar membawa air menerpa wajah, merasakan tusukan-tusukan air di lengan, merasakan air mengalir di pipi, janggut, pinggang; merasakan cipratan air ketika jalan digenangi air …. Merasa ampuh!

Aku pernah bersama teman ketika hujan deras boncengan naik motor ke Kali Adem tanpa baju. Itu sekitar 25 kilometer dari rumahku. Aku juga pernah kehujanan sangat deras ketika bermotor melewati jalur Kopeng-Ketep Pass. Saat itu, sebelum tahun 2005, jalanan di sana tidak sehalus sekarang. Hujan lebat, diakhiri dengan kabut tebal. Aku juga pernah mengalami hujan deras, malam hari beberapa jam sebelum tahun baru, bersama teman naik motor tanpa lampu dari Pandan Sari ke rumah. Hanya dibantu kilatan petir. Saat itu listrik balum sampai ke mercusuar.

Hujan-hujan juga mengingatkan dulu aku bersama teman-teman di atas gunung. Semakin lebat dan mengerikannya badai, terasa semakin dekat dengan Tuhan. Ada keindahan yang misterius di balik kengerian. Ketika yang ada hanya gelap, suara menggigil, desauan angin dan air yang mirip seruling bernada tinggi, ditimpa embusan badai yang tampak berdenyut.

Hujan juga membuatku teringat saat latihan teater, baik bersama MB ataupun NP. Hujan seakan menyediakan bahan bakar untuk menjadi lebih dewasa dari seharusnya. Hujan mengingatkanku pada teman-temanku SMA yang sering mengajakku main dan pulangnya kehujanan. Mampir ke angkringan, berteduh di bawah pohon, ditraktir sengsu, atau sekadar gelundang-gelundung di kosnya teman sambil curhat. Kini, hujan membuatku kangen pada kamar kosku di Rawamangun yang sering kukhayalkan sebagai kamar kapten kapal di zaman eksplorasi dunia abad ke-15. Hujan mengingatkanku pada kamar kos kecilku di Karangwaru yang beratap beton. Selalu kukhayalkan seperti kapsul antar-galaksi yang menerbangkanku ke antah berantah tempat semuanya berwarna. Hujan membuatkan aku banyak hal.

Dan selalu ada misteri di balik hujan.

Kini, setelah aku sudah sedemikian tua ini, aku merasakan suara hujan tetap sama. Suara guntur tetap sama. Entah mengapa, di tengah lanskap Yogya yang berubah dengan terlalu cepat ini, senang rasanya masih ada yang tidak berubah.

Aku tulis dadakan ketika hujan. 

2 Responses to Hujan

  1. Nila Riwut says:

    Nuwun mas Noel sudah berbagi.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.