Sujoko dan Sumi

“Tut tut tut tut … tut tut tut tut … tut tut tut tut …”

Sujoko melompat membuang selimut dengan satu tangan. Kepalanya yang masih pening mencari-cari jam weker 10 ribuan bergambar pinguin. Begitu bunyi weker berhenti, jantung Sujoko terasa berdebar sumbang. Jam segini! Ah, Sumi! Batinnya.

Buru-buru tangannya meraih handphone di meja. Ah, ngecasnya sudah penuh. Dan tidak ada panggilan tak terjawab. Berarti Sumi memang belum telpon.

Jam 02.04.

Angin dingin yang berdesir menerobos ventilasi meyakinkan Sujoko bahwa sekarang memang dini hari. Dengkuran Mak Riwut di kamar sebelah seakan memberi penegasan: ini bukanlah waktu yang normal buat bangun tidur. Kecuali kalau mau tirakatan, atau mau memancing, atau mau adang menanak nasi kalau ada hajatan. Sujoko jadi ingat malam yang sama setahun lalu. Saat itu, di jam segini, tetangga-tetangganya sudah ribut menanak nasi dan menyembelih ayam. Maklum, pak penghulu dari Catatan Sipil bisanya jam 7 pagi. Padahal Mak Riwut sudah nyeseli lima puluh ribuan agar ia bisa datang agak siangan. Tapi apa daya, tetangga kampung sebelah sudah mem-booking-nya untuk jam setengah 9 pagi. Cucu mantu pak mantan lurah. Seselan-nya tentu ga cuma selembar lima puluh ribuan.

Sujoko menarik sumbat padasan. Membasahi muka. Mereguk sedikit airnya. Sambil mengeluh. Jadi, sudah sebelas bulan ia berpisah dengan Sumi.

“Aku harus ikut berjuang untuk masa depan, Mas.”

“Nanti kita punya momongan-nya tahun-tahun depan saja, kalau sudah bisa beli motor. Sukur-sukur pick up kayak punyanya Mas Sugi. Bisa buat angkutan pndah kos, bisa diompreng.”

“Mas Joko sing tatag ya. Aku kasih kabar tiap minggu pokoknya”

Kuwait! Sumi pergi jadi TKW ke Kuwait. Negara yang samar-samar Sujoko dengar sewaktu SD pernah perang dengan Irak. Saddam Husein. Jendral Norman Schwarkopf. Kuwait kaya minyak, kabarnya. Lebih kaya dari Amerika. Semua orang di sana kaya. Gelandangan pun pasti lebih kaya dari dirinya yang kerja serabutan.

Jam 02.32

Sumi belum menelepon. Memang majikannya baru membebaskan Sumi dari kerja setelah jam 10 malam katanya. Itu berarti sekitar jam 2 pagi di sini. Ah, Kuwait. Seperti apa ya? Tidak tega sebenarnya Sujoko melepas Sumi. Mengapa bukan ia yang jadi buruh di Malaysia saja, pikirnya.

“Laki-laki kalau jadi TKI nanti pulangnya pasti sudah punya istri banyak”

“Aku nggak mau Mas Joko pulang bawa istri baru”

“Kita kan baru nikah sebulan. Laki-laki mana yang nggak ngaceng melihat gadis-gadis sono yang putih-putih?”

Padahal seleraku bukan seperti mereka, batin Sujoko saat itu. Seleranya hanya Sumi. Agak ndeso, berbau brambang, dan kalau ngomong nyenthe-nyenthe. Wak-wakan! Hehehe .. Sujoko jadi ingat, bagaimana dulu butuh waktu 3 tahun hanya agar bisa dekat dengan Sumi. Dan butuh 5 tahun berikutnya agar Sumi mau berpacaran dengannya. Sebelumnya? Haha … HTS alias hubungan tanpa status. TTM-lah. Tapi Sujoko tahu diri dan tidak menuntut lebih. Ia tahu, Sumi juga secara naluriah ingin calon suaminya kelak adalah semacam juragan becak, atau mantri, sukur-sukur PNS. Tentara atau polisi juga boleh. Kalau ngurus SIM gampang. Dan dihormati tetangga. Siapa sih yang tidak takut dengan pria berpistol hehe. Jadi lebih baik berhubungan tanpa status tapi dekat, daripada tidak sama sekali.

Sujoko menghela napas sambil menengok HP-nya. Kapan Sumi akan menelepon ya? Sayang, pulsa terakhirnya sudah habis 3 hari lalu buat dipinjam telepon Mak Riwut. Toh Sumi kalau di-SMS juga tak pernah jawab. Sibuk bekerja, katanya. Dimarahi majikan kalau ketahuan SMS-an. Sudah bersyukurlah, si Sumi mau menelepon.

Dulu sih hampir seminggu sekali Sumi menelepon. Setelah itu sebulan sekali. Kini .. hmmm … Sujoko megingat-ingat sambil melirik ke kalender di depannya. Sudah 3 bulan lebih Sumi tidak telepon. Padahal mendengar suaranya saja Sujoko sudah senang. Kalau perlu tidak usah dikirimi Western Union, tapi tiap hari bisa telepon. Kayak anak remaja. Pasti lebih asyik. Dasar, makin tua makin banyak tuntutan …Sujoko menghela napas lagi.

Jam 03.00.

Sumi pasti telepon.

Sujoko jadi ingat cerita si Andar minggu lalu. Katanya, wanita yang sudah jadi TKW, apalagi ke Timur Tengah, pasti tidak bakal pulang. Seperti keponakannya, katanya. Paling banter pulang-pulang bawa anak dalam kandungan. Kalau tidak menjadi korban perkosaan ya .. mau sama mau. Konon laki-laki di sana “burungnya” besar-besar, bulunya lebat-lebat, dan … tahan lama. Perempuan mana pun pasti tergiur mencobanya. Apalagi jika dibumbui “pengabdian pada majikan”. Ah! Kopet! Sumi tidak seperti itu.

Ayam Pak Gino berkokok.

Hari ini ulang tahun Sujoko. Memang baginya, laki-laki ndeso berkalang lumpur, ulang tahun bukanlah hal yang penting. Tetapi momen-lah yang penting. Karena Sumi sudah berjanji kalau Sujoko ulang tahun, Sumi pasti telepon. Yang lama. Satu jam kalau bisa. Nabung beli pulsa dulu. Tapi jangan Mas Joko yang telepon, karena pasti lebih mahal. Dan uang dari mana? Membayangkan kata-kata mesra Sumi di telepon, kadang agak cabul sedikit, ah .. toh kami sudah menikah. Sujoko girang. Sujoko merasa ada harapan yang berdesir di hatinya. Milyaran kali adegan Sumi pulang berputar di pelupuk matanya. Adegan yang dinanti-nantikan sepanjang waktu. Berlari di terminal bandara seperti di film, pelukan, diangkat-putar tiga kali, … lalu ciuman yang panjang. Ah! Sumi pulang, terus buat usaha warung makanan, beli pick up buat kulakan beras, punya anak, ….

Mestinya masa depan ada di tangan laki-laki, batinnya. Aku jadi seperti mandul, gumamnya.

Masyaalah! Jam 04.17.

Apakah Sumi jadi menelepon? Sujoko gelisah. Apakah Sumi lupa? Apakah Sumi baik-baik saja? Apakah ia tidak sakit? Apakah Sumi tidak sedang di kamar majikannya?Ah, bayangan terakhir itu yang ingin dibuangnya jauh-jauh.

Sujoko ingin sholat subuhan dulu. Menenangkan pikiran yang makin ruwet.

Jam 05.15.

Mak Riwut sudah sibuk memberi makan ayam. Sujoko bersila di atas amben kamarnya. Merasa tak berdaya. Jelas-jelas Sumi tidak menelepon. Jutaan tanya dan cemas menggumpal menjadi letih dan kecewa.

Teringat Sumi pernah selingkuh setidaknya dua kali.

Teringat Sumi begitu berpengalaman di tempat tidur, tapi Sujoko tak berani bertanya. Takut aib. Lebih tepatnya, takut Sumi bercerita dengan jujur. Lebih baik tidak tahu dan tidak mempertanyakan.

Teringat senyuman Sumi yang manis meski tak sespektakuler bintang iklan.

Dari jendela, terdengar suara ayam ribut. Ayam jago kuning Pak Gino sedang mengawini dere-nya Mak Riwut.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.