Gawatnya Pilihan Kata

Tempo hari bapak kita SBY sempat mengatakan kalau gajinya belum pernah naik. Ini versi netralnya. Beberapa media menuliskan “SBY Mengeluh ..” (KR), barangkali ada yang menuliskan “SBY sesumbar …”, atau “SBY mengobral …” Tapi mungkin itu yang dinamakan kebebasan menentukan pilihan kata. Sayangnya kerap kali justru kata-katalah yang memilih kita: karena kata-kata, seseorang dapat nyungsep hilang dari peredaran; karena kata-kata, Chairil Anwar kondang walaupun bermodal plagiasi; karena kata-kata pula penulis blog diburu intel. (Saya jadi ingat pada pengalaman aneh: diancam diadukan intel oleh tentara penjaga Kodim gara-gara saya membuang sampah di tempat sampah depan Makodim).

Saya lupa baca di koran hari ini apa kemarin. Tetapi satu artikel koran tersebut memuat berita bahwa beberapa satgas (atau simpatisan ya?) PDIP mendatangi 2 kantor redaksi koran lokal Yogya, Radar Jogja dan Harian Jogja. Saya membayangkan, satgas berseragam doreng merah hitam dengan tubuh tegap-tegap ini merangsek kantor redaksi berisi orang-orang yang tidak pernah memegang klewang atau bedil. Namun semoga saja bayanganku salah. Semoga saja para “pejuang partai” itu mendatangi kantor redaksi dengan sopan santun murah senyum mengajukan permohonan agar pemberitaan mengenai tidak hadirnya Idham Samawi (mantan Bupati Bantul) di suatu sidang pengadilan sebagai saksi direvisi. Lagi-lagi ini soal pilihan kata. Sepertinya kedua koran tersebut menggunakan kata “mangkir” untuk menceritakan ketidakhadiran Pak Idham. Mereka dituntut menggunakan kata yang lebih pantas, karena – katanya – “mangkir” memiliki kesan negatif. Nyatanya memang katanya Pak Idham absen lantaran ada acara kedinasan yang tidak bisa dibatalkan (kata-kataku aneh ya, “nyatanya”, “memang”, tetapi “katanya” – hidup ini memang aneh).

Padahal menurut KBBI mangkir (v) artinya “tidak datang” atau “absen”. Jadi sebenarnya sah-sah saja kalau kedua koran itu menggunakan kata “mangkir”. Salah satu pemred harian tersebut tidak secara langsung mengatakan mau merevisi berita, tetapi lebih pada mempersilakan para pemrotes tersebut menggunakan hak jawab di media yang sama. Saya sempat berpikir, hak jawab itu apa ya? Jika hak jawab itu berarti si satgas ini dipersilakan untuk menulis artikel sanggahan di koran yang sama, maka si pemred itu canggih juga. Alih-alih menghindari duel fisik yang jelas tidak dipahami oleh sang pemred, ia malah menantang duel tulisan. … Entah si satgas paham nggak.

Tetapi saya tidak sedang mau sok mengadili pak presiden ataupun pak mantan bupati. Sudah terlalu banyak orang yang berbibir nyinyir … lebih nyinyir lagi jika ada maunya. Nah, kembali ke soal pilihan kata, ternyata di situlah sebenarnya kreativitas penulis dipertaruhkan. Itu pula bedanya antara tukang tulis dan penulis. Si tukang tulis tinggal menyusun huruf dan kata berdasarkan permintaan (atau template), sedangkan si penulis harus mati-matian memeras otak agar tulisan yang keluar orisinil, mudah dipahami, tidak ambigu, dan memiliki “roh”. Namun memang memeriksa makna kata, tesaurus, dan konteks yang berkembang itu perlu. Seperti kasus di atas, walaupun secara leksikon kata “mangkir” baik-baik saja, tetapi lantaran media suka menggunakan kata “mangkir” buat pejabat (biasanya koruptor) yang menolak menghadiri sidang dengan alasan dibuat-buat, jadilah kata ini berkonteks negatif.

Hampir sama seperti sebagian dari kita yang merasa antipati saat mendengar kata “sosialisme” dan “buruh”, hanya gara-gara Pak Harto, penguasa sebelumnya, agak mengharamkan kedua kata itu. Padahal sepertinya kamus itu tidak mengenal haram dan halal.

Tetapi saya jadi yakin, bahwa masalah pilihan kata ini bukanlah tentang mencomot kata-kata yang kebetulan melintas di atas kepala kita. Tetapi lebih pada bagaimana menggambarkan sesuatu dengan sentuhan informatif yang barangkali tidak mampu dikisahkan oleh kata-kata lainnya. Seperti lulisan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, ternyata suatu kata pun hanya dapat digantikan secara mendekati oleh kata-kata lainnya. Dan sepertinya hal itu erat kaitannya dengan pengalaman dan konteks. Mungkin hal ini sedikit freudian. Tetapi siapa tahu justru di celah sempit tidak terduga itu kita malah menemukan jati diri kita? Ya know what I mean?

2 Responses to Gawatnya Pilihan Kata

  1. Tukang tulis dan penulis? Jd evaluasi diri nih, hehe…
    Tulisannya keren. Sederhana tapi bernas.

    Salam (kenal),
    Puansari

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.