Minggu di Sasen (Catatan tentang Pasar Sasen)


Pasar Sasen 2 Juli 2017 di Minggir

Apa yang ada di dalam benakmu saat aku mengatakan “hari Minggu”? Ke gereja? Bermain bersama keluarga? Atau justru cucian segunung dan bersih-bersih rumah? Atau kumpulan frustrasi pekerjaan seminggu lalu yang siap meletus ditambah was-was hari Senin sudah mengintip? Sejak 5 tahun lalu, ketika aku berusaha memulai hidup rutin – bekerja dan bersekolah hari Senin-Sabtu dan off di hari Minggu –  pengertian dan kegunaan hari Minggu jadi penting. Sekaligus menyebalkan. Penting karena menjadi pembatas antara pekerjaan sepanjang minggu dengan minggu yang lain di mana aku dapat sekadar menghela napas dengan beristirahat atau bermain; menyebalkan karena keberadaan hari Minggu justru menggarisbawahi ketidakberdayaan seorang buruh: butuh satu hari untuk melepaskan keruwetan minggu kemarin dan tahu-tahu sudah hari Senin. Tidak jarang, hari Minggu adalah satu-satunya waktu untuk membayar hutang-hutang pekerjaan dan tugas yang telantar di minggu sebelumnya.

Di tengah kebosanan dan geliat untuk terbebas dari “belenggu hari Minggu”, aku berharap bahwa hari Minggu akan lewat tidak dengan begitu saja: harus kebih penting dari itu. Bukankah konon Yesus memilih hari Minggu untuk bangkit? Dan karenanya hari pertama dalam penciptaan dunia menurut Alkitab ini justru dalam kalender Masehi dijadikan sebagai hari libur – bukan libur hari Sabtu/Sabaat. Karena itu, barangkali hari Minggu adalah awal dari apa yang akan kita kerjakan sepanjang minggu ini. Bukan sisa-sisa minggu kemarin, dan bukan “lubang sampah” yang diisi dengan bangun siang, nonton film seharian, atau makan gila-gilaan. Nah, di situlah aku dan Icha menemukan (atau lebih tepatnya ditemukan) oleh Mas Bimo dan Pasar Sasen. Baca pos ini lebih lanjut